Selasa, 15 September 2015

Menulis Musik: Keroncong dan Kenangan Masa Kecil

Falling in love is easy, staying in love is special

Quote dari timeline Twitter Tata. Ketauan deh gue kepo. Hahaha. Quote tamparan yang membuat saya merasa ingin jedot-jedotin kepala ke tembok. Bukan, bukan perkara hubungan kasih asmara antara saya dan orang terdekat saya. Seperti Mas Cholil, saya ingin memaknainya dengan pemahaman yang lebih luas. Berhubung tema #15HariMenulis kali ini adalah musik, maka saya akan mengkomparasikannya dengan pengalaman saya bersama musik. Anyway, sebelum lanjut membaca, silakan putar dahulu lagu yang linknya saya bagikan ini. Di Bawah Sinar Bulan Purnama dari Soendari Soekotjo. Biar syahdu.

Saya berasal dari keluarga Jawa yang sampai sekarang masih kental Jawanya. Kakek saya, Alm. Kasno Suwarto, adalah pengrajin ukiran yang tidak terlihat antusias dengan musik. Tapi, ketika mendengar keroncong di acara kondangan tetangga, beliau bisa duduk diam berjam-jam nglinting rokok sambil merem dengan bibir setengah komat-kamit. Bukan, beliau bukan sedang merapal mantra. Itu wujud apresiasi beliau terhadap keroncong. Nglaras kalau bahasa Jawanya.

Saya mengenal keroncong dari acara kondangan tetangga. Semenjak saya belum lahir, keroncong sudah jadi playlist wajib di setiap acara kondangan. Entah itu acara pernikahan, sunatan, atau acara-acara tingkat RT seperti tirakatan tiap malam tujuh belas Agustus. Pertama dengar keroncong, saya biasa saja, tidak suka tidak benci.

Beberapa tahun belakangan saya sempat rindu dengan keroncong karena kondangan sekarang tidak selaras dulu. Sekarang, DJ kondangan sudah jarang memutarkan keroncong. Tak jarang keroncong digantikan lagu dangdut alus milik Rhoma Irama, Elvi Sukaesih, dan dangdut yang entah saya tidak tahu penyanyinya. Eh tapi jangan sedih, banyak pengamen keroncong di Solo yang setia jamming di beberapa tempat makan. Warung Timlo belakang Pasar Gedhe contohnya.

Lama tidak mendengar keroncong, setelah membaca quote dari timeline Twitter milik Tata, saya mencoba mencari sebuah lagu yang menurut saya mewakili quote tersebut. Sialnya, saya merupakan tipikal orang yang sulit mengahfal judul (judul apapun) apalagi judul lagu keroncong. Makna lagu keroncong yang pernah saya dengarpun sebenarnya saya tidak begitu tahu. Bagi saya, keroncong adalah mesin pembangkit memori masa kecil. Generator yang ketika dinyalakan, akan serta merta menghidupkan kenangan saya terhadap suasana kondangan. Dan acara kumpul-kumpul khas Jawa lainnya. Pernikahan bulik, aqiqah keponakan, sunatan sepupu, tirakatan RT, wajah kakek, sesi foto bersama dengan keluarga dan tetangga dari yang dulu masih hidup sampai sekarang sudah meninggal. Semua teproyeksi kembali jika saya mendengar langgam keroncong. Aduh jadi baper.

Keroncong tidak melulu tentang Soendari Soekotjo dan Waldjinah. Setahu saya, keroncong tidak hanya diadopsi oleh masyarakat Jawa. Baru saja saya tahu kalau Tantowi Yahya juga punya video keroncong di Youtube. Lagu Ayam den Lapeh dari Sumatera Barat juga disebut-sebut memiliki tatanan minor yang sama seperti lagu keroncong. Kalau menurut Wikipedia, keroncong adalah jenis musik diatonis yang komposisi instrumennya mirip dengan musik fado dari Portugis. Bukan mirip lagi sih, memang sejatinya berasal dari sana. Diadopsilah oleh tetua kita dan jadilah keroncong dengan berbagai versi. Pelaut-pelaut Portugis nggak mungkin cuma "piknik" ke Jawa saja. Mubadzir udah capek-capek kayuh dayung sampai ke luar negeri, melancongnya cuma ke satu lokasi.

Ini adalah pengalaman saya, bahwa keroncong tetap membuat saya jatuh cinta walaupun telah usang dimakan usia. Ngga usah pakai salam super ya!


Sukoharjo
15 September 2015



Tidak ada komentar:

Posting Komentar