This like a particular issue to write before i move passing
a gloomy day.
Bukan pengantar yang sesuai untuk menunjukkan isi cerita
yang akan aku tulis. Sebenarnya, jika ingin jujur, aku tidak tahu benar arti
particular di sini. Ya, kalian boleh tertawa.
Paragraf kedua. Kalian tahu apa yang sedang kucemaskan?
Tidak, bukan lagi menyoal masa depan atau hal rengek-rengek mengenai masalah
warna baju dan celana. Penantian. Membosankan memang, aku sedang menunggu dan
menduga-duga penuh harap atas beberapa hal manis yang kualami belakangan ini.
Paragraf ketiga. Tentang apa dan siapa, tidak akan kujelaskan.
Anggap saja ini hari natal yang setiap anak rela menggantungkan kaus kaki
hangatnya di depan pintu dan perapian. Untuk siapa? Santa. Siapa Santa? Apakah
dia akan benar-benar datang? Tidak.
Paragraf keempat. Setelah kupikir-pikir, benar aku adalah
analogi dari gadis kecil penunggu perapian untuk sebuah kado dari Santa.
Pikiranku hanya tertuju pada satu pusat, objek misterius, Santa.
Paragraf kelima. Dia
mengetahui dengan pasti bahwa hal yang paling kusenangi adalah selalu dalam
pelukannya. Membenamkan diri dalam sela-sela antara kedua bahunya yang lebar
dan besar. Bahu paling hangat sekaligus paling nyaman untuk kemudian kuletakkan
daguku dan menahan wajahku dengan mata yang mengatup. Aku seperti menggantung di dadanya.
Paragraf keenam. Bagaimana mungkin Santa yang entah
keberadaannya nyata atau tidak mampu membuatnya rela berdiam di depan perapian
menunggui kantung kaos kalinya penuh?
Paragraf ketujuh. Aku pernah sekali mencoba mendaratkan
bibirku di keningnya ketika dia tidur. Dia tidak tahu, memang karena aku
sedikit malu-malu. Wajah tidur. Kupandangi sampai bosan. Bisa, dia bisa
membuatku melakukan hal seperti itu dengan dekapan yang hanya berlangsung dua
detik. Kau tau berapa lama aku memandanginya? Dua jam. Kau tau apa yang
kupikirkan? Teh. Mungkin akan lebih baik jika ketika dia bangun aku membuat
secangkir teh.
Paragraf kedelapan. Ada satu masa yang seharusnya dapat
dijadikan titik perenungan untuk manusia-manusia sekarang. Demi perspektif tak
terjamah dan “Apa kabar, Maria?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar