Senin, 01 Juli 2013

Delapan Paragraf Untuk Yang Tak Satupun Benar Aku Tahu

This like a particular issue to write before i move passing a gloomy day.

Bukan pengantar yang sesuai untuk menunjukkan isi cerita yang akan aku tulis. Sebenarnya, jika ingin jujur, aku tidak tahu benar arti particular di sini. Ya, kalian boleh tertawa.

Paragraf kedua. Kalian tahu apa yang sedang kucemaskan? Tidak, bukan lagi menyoal masa depan atau hal rengek-rengek mengenai masalah warna baju dan celana. Penantian. Membosankan memang, aku sedang menunggu dan menduga-duga penuh harap atas beberapa hal manis yang kualami belakangan ini.

Paragraf ketiga. Tentang apa dan siapa, tidak akan kujelaskan. Anggap saja ini hari natal yang setiap anak rela menggantungkan kaus kaki hangatnya di depan pintu dan perapian. Untuk siapa? Santa. Siapa Santa? Apakah dia akan benar-benar datang? Tidak.

Paragraf keempat. Setelah kupikir-pikir, benar aku adalah analogi dari gadis kecil penunggu perapian untuk sebuah kado dari Santa. Pikiranku hanya tertuju pada satu pusat, objek misterius, Santa.

Paragraf  kelima. Dia mengetahui dengan pasti bahwa hal yang paling kusenangi adalah selalu dalam pelukannya. Membenamkan diri dalam sela-sela antara kedua bahunya yang lebar dan besar. Bahu paling hangat sekaligus paling nyaman untuk kemudian kuletakkan daguku dan menahan wajahku dengan mata yang mengatup. Aku seperti menggantung di dadanya.

Paragraf keenam. Bagaimana mungkin Santa yang entah keberadaannya nyata atau tidak mampu membuatnya rela berdiam di depan perapian menunggui kantung kaos kalinya penuh?

Paragraf ketujuh. Aku pernah sekali mencoba mendaratkan bibirku di keningnya ketika dia tidur. Dia tidak tahu, memang karena aku sedikit malu-malu. Wajah tidur. Kupandangi sampai bosan. Bisa, dia bisa membuatku melakukan hal seperti itu dengan dekapan yang hanya berlangsung dua detik. Kau tau berapa lama aku memandanginya? Dua jam. Kau tau apa yang kupikirkan? Teh. Mungkin akan lebih baik jika ketika dia bangun aku membuat secangkir teh.

Paragraf kedelapan. Ada satu masa yang seharusnya dapat dijadikan titik perenungan untuk manusia-manusia sekarang. Demi perspektif tak terjamah dan “Apa kabar, Maria?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar