Kamis, 17 April 2014

Movie Review: Life Is Beautiful



Life Is Beautiful (1997)
Roberto Benigni

Jika dilihat dari judul, apa yang kalian bayangkan? Kisah cinta tentang sepasang kekasih yang kemudian hidup bahagia hingga akhir hayat setelah mengalami cobaan yang bertubi-tubi? Ya, memang begitu. Setengah babaknya akan kalian lewati dengan perasaan seperti itu.

Berbeda dengan kisah cinta film-film kebanyakan yang memang fokus menentukan satu tujuan untuk menciptakan akhir yang kebanyakan juga bahagia dengan menghabiskan seluruh babak, film ini mampu menghadirkan esensi lain. Bak keping mata uang, film ini adalah ironi yang dirangkai dengan indah.

Roberto Benigni, sang sutradara sekaligus pemeran tokoh utamanya, Guido Orefice, adalah tangan yang handal dalam memutar mata uang tersebut. Lewat arahan penyutradaraan dan akting memukau yang ia mainkan, kita akan merasa dijebak. Permulaan babak, kita akan dibawanya menapaki dunia gula-gula yang manis. Lain babak, dia dapat mendorong kita menuju dunia penuh air mata.

Guido Orefice tinggal di Arezzo, Italia bersama pamannya, Eliseo. Perjalanan hidup Guido dilewati dengan penuh kebahagiaan karena sifatnya yang sangat positif dalam melihat berbagai hal. Guido jatuh cinta kepada Dora yang diperankan oleh Nicoletta Braschi. Cinta segitiga dan perbedaan kasta di antara mereka adalah konflik yang serius. Benigni memperkuat karakter positif Guido dengan membawa konflik tersebut menjadi sesuatu yang tampak menyenangkan hingga akhirnya mereka berdua menikah dan dikaruniai seorang putra bernama Joshua yang diperankan oleh Giorgio Cantarini.

Konflik rumit lainnya muncul ketika Nazi berkuasa di Italia. Guido, Joshua, Dora, dan Yahudi lainnya ditangkap. Babak menyedihkan dimulai. Dengan sekuat tenaga, Guido yang telah dipisahkan dengan Dora, kini harus berusaha seorang diri untuk melindungi Joshua. Melindungi secara fisik dan mental. Dari sini, kalian akan menemukan sosok ayah ideal yang akan membuat kalian terenyuh karenanya.

Koin terbalik.