Sabtu, 19 September 2015

Menulis Musik: My Ultimate Happiness


Berimajinasi adalah salah satu hal yang saya senangi selain mendengarkan musik. Maka, berimajinasi ketika mendengarkan musik adalah ultimate happiness yang sebisa mungkin harus sering saya lakukan. Imajinasi saya terhadap sebuah lagu tidak muncul begitu saja. Hal ini dipengaruhi oleh dua faktor, mood dan lagu itu sendiri. Imajinasi ini saya lakukan untuk menyiapkan jawaban jika suatu saat ada yang menanyakan perihal lagu favorit. Hal ini sudah saya lakukan sejak duduk di bangku SMP, semenjak menulis biodata di kertas binder teman jadi salah satu kewajiban di sekolah.

Sebuah lagu akan masuk dalam list favorit saya jika lagu tersebut dapat membuat saya berimajinasi. Membayangkan diri saya larut dalam lagu tersebut entah menjadi apa. Salah satu yang telah memenuhi kriteria tersebut adalah lagu Kiss Me dari Sixpence None The Ritcher. Saat ini, saya sedang mendengarkan lagu tersebut secara berulang-ulang. Akan saya coba tuliskan imajinasi saya di tantangan #15HariMenulis kali ini.

Kiss me out of the bearded barley
Nightly, beside the green, green grass
Swing, swing, swing the spinning step

You wear those shoes and I will wear that dress.
Oh, kiss me beneath the milky twilight
Lead me out on the moonlit floor
Lift your open hand

Strike up the band and make the fireflies dance
Silver moon's sparkling
So kiss me

Kiss me down by the broken tree house
Swing me upon its hanging tire
Bring, bring, bring your flowered hat
We'll take the trail marked on your father's map


Malam hari, di taman yang luas dan sepi. Saya dan seorang laki-laki bertemu. Saya melihat senyumnya mengembang ketika saya menyapanya. Kami berjalan berkeliling sambil membicarakan apa saja. Keponakan yang bandel, hari-hari yang membosankan, rencana liburan yang gagal, apa saja. Kami kehausan, dia mengeluarkan dua kaleng beer dari dalam tasnya. Kami menikmati tenggakan beer dalam diam. Diam yang syahdu. Setelahnya, kami enggan berjalan lagi. Kami rebahkan punggung kami di atas rumput yang berembun. Saya kembali bercerita. Walaupun kami lebih sibuk memandang ke langit, saya tahu betul dia senang mendengarkan saya bercerita. 

Hahaha. Saya ngetik sambil senyum-senyum. Mirip-mirip scene taman di film Before Sunrise gitu deh. Manis banget. Buat yang mau coba merangkai imajinasi bersama Sixpence None The Ritcher, silakan klik (ini).


Sukoharjo
18 September 2015



Kamis, 17 September 2015

Menulis Musik: Foto Pertama Bersama Rock Star

Mungkin akan menjadi sedikit norak ketika saya menulis tentang pengalaman saya bertemu seorang musisi terkenal. Tapi yasudahlah, saya memang norak tapi tenang saya akan berusaha untuk menuliskannya dengan kalimat yang elegan. Ini bukan menulis musik sih judulnya. Hahaha.

Dalam tulisan ini, seluruhnya saya akan ceritakan pengalaman saya bertemu Robi Navicula. Pertama kali saya bertemu Robi Navicula di pintu kedatangan Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta. Saya dengan sangat antusias sengaja menawarkan diri untuk menjemputnya karena dari semua line up musisi yang akan tampil di acara X, cuma Robi Navicula yang menarik perhatian saya. Bukan karena saya salah satu anggota groupiesnya, bukan. Kesediaan saya justru karena ketidak tahuan saya. Beberapa hari sebelum mengiyakan prosesi penjemputan ini, saya cari tahu mengenai beliau melalui Google. Jujur, saya tahu ada sebuah band dari bali bernama Navicula, tapi saya tidak tahu betul siapa saja personilnya. Kecuali Dadang yang lebih tenar dengan Dialog Dini Hari.

Keyword Navicula menjadi bekal saya untuk mempersiapkan bahan obrolan dengan gitaris nyentrik ini. Mulanya saya pikir saya akan menghadapi musisi rock yang gondrong dan urakan. Namun, jauh dari dugaan saya, Bli Robi ternyata tidak gondrong dan cenderung kalem. 

Sempat bingung memikirkan bahan obrolan, mau sotoy nyanyi lagu Mafia Hukum nanti malah dia jijik. Akhirnya, kalimat pertama yang saya keluarkan ketika bertemu pertama kali adalah, “Kok nggak gondrong lagi?”. Sok akrab memang, berlagak seperti fans sejati yang sudah kenal beberapa tahun. Padahal mah apa.. Setelah jemput, ini apa-apa urusan Bli Robi jadi ke saya. Saya dijebak menjadi LO. Baiklah, freelancer rangkap kerjaan sudah biasya.

Menjelang acara ya biasalah ya, check sound dan lain-lain. Tibalah di acara inti, saya mengerjakan pekerjaan yang lain sembari memastikan kalau musisi saya datang tepat waktu. Belakangan saya merasa kalau saya terlalu bawel dan posesif sama musisi saya. Belum, belum sampai jadi baper.

Ba bi bu be bo. Acara selesai. Honestly, saya adalah orang yang paling males sedunia kalau dimintai tolong untuk menjadi fotografer dadakan buat teman-teman saya yang pengen banget foto sama artis. Apalagi temen yang nggak tau-tau banget siapa orang yang mau diajak foto. Sorry to say, Rieke. Karena kamu, jadilah niat awal untuk mengucapkan terimakasih kepada Bli Robi urung saya lakukan.

Setelah sesi foto teman saya berakhir, pertama kali seumur hidup, saya berani minta foto bareng sama musisi yang sebenernya nggak begitu saya kenal juga. Terjilatlah ludah saya sendiri. Bukan apa-apa, dari attitudenya saya punya feeling kalau orang ini adalah sesuatu. Sebenarnya Bhaga, salah satu teman saya, sih yang bilang kalau Bli Robi ini adalah satu rock star keren. Saya tidak akan sekalipun meragukan kata Bhaga kalau urusan rock star walaupun pada dasarnya Bhaga adalah anak punk.

Dugaan saya tidak meleset, beberapa hari setelah acara saya coba cari tahu ternyata benar adanya beliau adalah sesuatu. Beliau adalah seorang petani kopi dan aktivis lingkungan. Dua hal keren yang sampai sekarang belum bisa saya lakukan. Berserah diri kepada alam dengan mengolah dan memperjuangkannya. Mungkin tulisan ini akan berakhir menggantung karena banyak detail yang bingung akan saya sisipkan di mana. Seburuk apapun tulisan ini, yang jelas saya bahagia karena tanpa saya duga, Bli Robi menyambut dengan baik ajakan berfoto saya. Bahagia sesederhana itu ya?

Rolling Stones Cafe, Kemang



Sukoharjo
17 September 2015

Menulis Musik: Setahun Mengenal Gamelan

Saya adalah orang yang sampai sekarang yakin bahwa suatu hari nanti saya akan mempunyai sebuah band. Saya mendengarkan dan mencintai musik jenis apapun. Permasalahannya, pertama, sampai sekarang saya tidak mendapat pengakuan jika suara saya merdu. Kedua, saya tidak dapat bermain alat musik.

Ketika SD, saya senang klothekan (pukul-pukul meja sambil menyanyi) ramai-ramai. Hal tersebut terbawa hingga SMP dan baru dapat tersalurkan dengan baik ketika masuk bangku SMA. Di SMA, ada satu pelajaran wajib untuk anak kelas X. Karawitan. Mungkin saya adalah siswa yang selalu menantikan pelajaran yang hanya diajarkan dua jam tiap satu minggu dari seluruh jadwal pelajaran lain di sekolah.

Gamelan adalah alat musik pertama yang diajarkan kepada saya secara formal. Hal dasar yang saya pelajari sebelum praktek adalah mengenal gamelan secara teori. Bahwa notasi pada gamelan tidak berupa solmisasi yang terdiri dari 7 nada. Gamelan memiliki susunan notasi pentatonis yang terdiri dari 5 nada dan terbagi menjadi dua laras, slendro dan pelog. Entahlah apa sejatinya slendro dan pelog sampai sekarang saya tidak mengerti.

Ketika pertama masuk kelas karawitan, kita semua dibebaskan untuk memilih alat musik apa yang akan kita mainkan. Dengan cepat dan tangkas, saya langsung memilih Saron tanpa alasan berarti. Saron adalah alat musik tabuh yang memiliki nada satu oktaf lebih tinggi dari iringan pentatonik lainnya. Dalam memainkan Saron, tangan kanan memukul lembaran logam dengan tabuh, lalu tangan kiri memencet logam yang telah selesai dipukul untuk menghilangkan dengungan yang tersisa dari pukulan nada sebelumnya. Teknik ini disebut memathet yang berasal dari kata dasar pathet yang dalam Bahasa Indonesia berarti pencet. 

Nampaknya Saron adalah jodoh saya. Tanpa tahu apa itu laras pelog dan slendro saya langsung dapat beradaptasi memainkan saron. Pelajaran berikutnya secara acak saya coba memainkan instrumen lain, Saron Penerus. Bentuknya lebih kecil dari Saron Demung dan Saron Barung. Cari sendiri di google ya. Cara mainnya tidak jauh berbeda, masih menggunakan teknik memathet tapi dilakukan dua kali tabuh untuk masing-masing nada. Saron Penerus merupakan salah satu mimpi buruk bagi teman-teman sekelas. Oh my.. bukan cuma Saron Penerus deng, kelas karawitan adalah mimpi buruk bagi setiap siswa kelas X. Karena gurunya memang seram sih, Alm. Pak Parno. Secara fisik beliau mirip Suneo tapi hatinya bagaikan Giant yang gampang sekali terpantik amarahnya. Beliau paham betul tentang laras/tidaknya sebuah tembang. Satu nada yang meleset sama dengan satu penghapus yang diterbangkan dari tangannya. 

Anyway, Saron Penerus adalah jodoh saya yang kedua. Keluarga Saron memiliki andil 75% dari sebuah tembang, Saron adalah instrumen yang dijadikan penuntun untuk instrumen lain. Maka tidak heran dalam satu rangkaian gamelan biasanya punya 4 saron.

Suatu hari, Kata Pak Parno, cepat lambat ketukan gamelan penuntun ditentukan oleh komando tabuhan dari Kendhang. Saya sempat tertarik untuk mencoba menabuh Kendhang, tapi waktu itu, posisi kendhanger lebih popular di kalangan siswa laki-laki. Jadi niat untuk memilih menabuh Kendhang saya urungkan sejak hari ketiga kelas karawitan.

Tibalah hari dimana saya terlambat masuk kelas. Masing-masing siswa sudah duduk manis di belakang instrumen pilihannya. Satu kursi kosong tersisa di belakang Bonang Penerus. Cara memainkan Bonang juga ditabuh, sama seperti Saron. Namun, tabuhannya tidak menggunakan teknik pathet. Bonang memiliki dua alat tabuh yang masing-masing dipegang oleh tangan kanan dan tangan kiri. Susunan logam tabuhnya berjumlah 12 dengan susunan 6 di bawah 6 di atas. Semua terasa baik-baik saya sebelum saya tahu kalau 6 atas dan 6 bawah logamnya disusun terbalik. 6 atas adalah do re mi fa sol la si, 6  bawah adalah do si la sol fa mi re. Satu yang masih menjadi misteri, bagaimana bisa 6 buah logam ini menghasilkan 7 nada notasi solmisasi. Bangkai.

Misteri belum berakhir. Ternyata ketukan Bonang tidak sama dengan Saron. Bonang diketuk dengan tempo ½ lebih cepat dari Saron. Percobaan pertama, dua kali penghapus melayang ke arah saya. Ambyar pokoknya. For your information, kakaknya Bonang Penerus, Si Bonang Barung tingkat kesulitannya nggak jauh beda sama adiknya. Berkat Bonang, akhirnya saya merasakan mimpi buruk yang selama ini teman-teman saya rasakan.

Semenjak tragedi penghapus terbang, pertemuan demi pertemuan saya lewati dengan menabuh Saron Penerus. Sampai suatu kali saya memberanikan diri menjadi seorang kendhanger karena kendhanger yang biasanya nggak ada. Saya lupa judul tembang yang waktu itu sering kami gunakan dalam kelas karawitan. Tapi sampai sekarang saya masih ingat bunyi ketukan Kendhang yang waktu itu saya mainkan.

Tak Tak Tung Dha
Tong Tung Tong Tung
Tung Dha Tung Tung
Tung Dha Tung Tung
Tong Tung Tong Tung
Tak Dha Dha
Tak Dha Dha

Kendhang yang kelas kami pakai adalah Kendhang Kalih. Dalam Bahasa Indonesia kalih berarti dua. Kendhang ini terdiri dari Kendhang Ageng (besar) dan Kendhang Ketipung yang ukurannya lebih kecil. Kendhang Kalih menghasikan empat jenis bebunyian seperti yang saya tulis di atas. Tong dan Dha keluar dari tabuhan Kendhang Ageng. Tak dan Tung keluar dari tabuhan Kendhang Ketipung.

Pak Parno, guru paling killer tapi keren yang mengajari saya banyak hal itu, berhasil saya taklukkan. Beliau mengapresiasi keberanian saya bermain Kendhang dengan memberikan nilai sangat bagus di rapor. Pertama, tentu karena permainan saya bagus. Kedua, karena dari sekian puluh siswi cuma saya yang bisa main Kendhang. Hahahaha saya memang jumawa. *ditabok massal

Begitulah cerita mengesankan saya dan alat musik yang saya pelajari secara formal. Dari sini saya tersadar kembali bahwa mimpi saya membuat band sekeren HAIM adalah fana.



Sukoharjo
16 September 2015



Selasa, 15 September 2015

Menulis Musik: Keroncong dan Kenangan Masa Kecil

Falling in love is easy, staying in love is special

Quote dari timeline Twitter Tata. Ketauan deh gue kepo. Hahaha. Quote tamparan yang membuat saya merasa ingin jedot-jedotin kepala ke tembok. Bukan, bukan perkara hubungan kasih asmara antara saya dan orang terdekat saya. Seperti Mas Cholil, saya ingin memaknainya dengan pemahaman yang lebih luas. Berhubung tema #15HariMenulis kali ini adalah musik, maka saya akan mengkomparasikannya dengan pengalaman saya bersama musik. Anyway, sebelum lanjut membaca, silakan putar dahulu lagu yang linknya saya bagikan ini. Di Bawah Sinar Bulan Purnama dari Soendari Soekotjo. Biar syahdu.

Saya berasal dari keluarga Jawa yang sampai sekarang masih kental Jawanya. Kakek saya, Alm. Kasno Suwarto, adalah pengrajin ukiran yang tidak terlihat antusias dengan musik. Tapi, ketika mendengar keroncong di acara kondangan tetangga, beliau bisa duduk diam berjam-jam nglinting rokok sambil merem dengan bibir setengah komat-kamit. Bukan, beliau bukan sedang merapal mantra. Itu wujud apresiasi beliau terhadap keroncong. Nglaras kalau bahasa Jawanya.

Saya mengenal keroncong dari acara kondangan tetangga. Semenjak saya belum lahir, keroncong sudah jadi playlist wajib di setiap acara kondangan. Entah itu acara pernikahan, sunatan, atau acara-acara tingkat RT seperti tirakatan tiap malam tujuh belas Agustus. Pertama dengar keroncong, saya biasa saja, tidak suka tidak benci.

Beberapa tahun belakangan saya sempat rindu dengan keroncong karena kondangan sekarang tidak selaras dulu. Sekarang, DJ kondangan sudah jarang memutarkan keroncong. Tak jarang keroncong digantikan lagu dangdut alus milik Rhoma Irama, Elvi Sukaesih, dan dangdut yang entah saya tidak tahu penyanyinya. Eh tapi jangan sedih, banyak pengamen keroncong di Solo yang setia jamming di beberapa tempat makan. Warung Timlo belakang Pasar Gedhe contohnya.

Lama tidak mendengar keroncong, setelah membaca quote dari timeline Twitter milik Tata, saya mencoba mencari sebuah lagu yang menurut saya mewakili quote tersebut. Sialnya, saya merupakan tipikal orang yang sulit mengahfal judul (judul apapun) apalagi judul lagu keroncong. Makna lagu keroncong yang pernah saya dengarpun sebenarnya saya tidak begitu tahu. Bagi saya, keroncong adalah mesin pembangkit memori masa kecil. Generator yang ketika dinyalakan, akan serta merta menghidupkan kenangan saya terhadap suasana kondangan. Dan acara kumpul-kumpul khas Jawa lainnya. Pernikahan bulik, aqiqah keponakan, sunatan sepupu, tirakatan RT, wajah kakek, sesi foto bersama dengan keluarga dan tetangga dari yang dulu masih hidup sampai sekarang sudah meninggal. Semua teproyeksi kembali jika saya mendengar langgam keroncong. Aduh jadi baper.

Keroncong tidak melulu tentang Soendari Soekotjo dan Waldjinah. Setahu saya, keroncong tidak hanya diadopsi oleh masyarakat Jawa. Baru saja saya tahu kalau Tantowi Yahya juga punya video keroncong di Youtube. Lagu Ayam den Lapeh dari Sumatera Barat juga disebut-sebut memiliki tatanan minor yang sama seperti lagu keroncong. Kalau menurut Wikipedia, keroncong adalah jenis musik diatonis yang komposisi instrumennya mirip dengan musik fado dari Portugis. Bukan mirip lagi sih, memang sejatinya berasal dari sana. Diadopsilah oleh tetua kita dan jadilah keroncong dengan berbagai versi. Pelaut-pelaut Portugis nggak mungkin cuma "piknik" ke Jawa saja. Mubadzir udah capek-capek kayuh dayung sampai ke luar negeri, melancongnya cuma ke satu lokasi.

Ini adalah pengalaman saya, bahwa keroncong tetap membuat saya jatuh cinta walaupun telah usang dimakan usia. Ngga usah pakai salam super ya!


Sukoharjo
15 September 2015