Saya adalah orang yang sampai sekarang yakin bahwa suatu hari
nanti saya akan mempunyai sebuah band. Saya mendengarkan dan mencintai musik jenis apapun. Permasalahannya, pertama, sampai sekarang saya tidak mendapat pengakuan jika suara saya merdu. Kedua, saya tidak dapat bermain alat musik.
Ketika SD, saya senang klothekan (pukul-pukul meja sambil menyanyi) ramai-ramai. Hal tersebut terbawa hingga SMP dan baru dapat tersalurkan dengan baik ketika masuk bangku SMA. Di SMA, ada satu
pelajaran wajib untuk anak kelas X. Karawitan. Mungkin saya adalah siswa yang selalu
menantikan pelajaran yang hanya diajarkan dua jam tiap satu minggu dari seluruh
jadwal pelajaran lain di sekolah.
Gamelan adalah alat musik pertama yang diajarkan kepada saya
secara formal. Hal dasar yang saya pelajari sebelum praktek adalah mengenal gamelan secara teori. Bahwa notasi pada gamelan tidak berupa solmisasi yang terdiri dari 7 nada. Gamelan memiliki susunan notasi pentatonis yang terdiri dari 5 nada dan terbagi menjadi dua laras, slendro dan pelog. Entahlah apa sejatinya slendro dan pelog sampai sekarang saya tidak mengerti.
Ketika pertama masuk kelas karawitan, kita semua dibebaskan
untuk memilih alat musik apa yang akan kita mainkan. Dengan cepat dan tangkas, saya langsung memilih Saron tanpa alasan berarti.
Saron adalah alat musik tabuh yang memiliki nada satu oktaf lebih tinggi dari
iringan pentatonik lainnya. Dalam memainkan Saron, tangan kanan memukul lembaran logam dengan tabuh, lalu tangan kiri memencet logam yang telah selesai dipukul untuk menghilangkan dengungan yang tersisa dari pukulan
nada sebelumnya. Teknik ini disebut memathet yang berasal dari kata dasar pathet yang dalam Bahasa Indonesia berarti pencet.
Nampaknya Saron adalah jodoh saya. Tanpa tahu apa itu laras pelog dan slendro saya langsung dapat beradaptasi memainkan saron. Pelajaran
berikutnya secara acak saya coba memainkan instrumen lain, Saron Penerus. Bentuknya lebih kecil dari Saron Demung dan Saron Barung. Cari sendiri di google ya. Cara mainnya tidak jauh berbeda, masih menggunakan teknik
memathet tapi dilakukan dua kali tabuh untuk masing-masing nada. Saron Penerus
merupakan salah satu mimpi buruk bagi teman-teman sekelas. Oh my.. bukan cuma Saron Penerus deng, kelas karawitan adalah mimpi buruk bagi setiap siswa kelas X. Karena gurunya memang seram sih, Alm. Pak Parno. Secara fisik beliau
mirip Suneo tapi hatinya bagaikan Giant yang gampang sekali terpantik amarahnya.
Beliau paham betul tentang laras/tidaknya sebuah tembang. Satu nada yang
meleset sama dengan satu penghapus yang diterbangkan dari tangannya.
Anyway, Saron Penerus adalah jodoh saya yang
kedua. Keluarga Saron memiliki
andil 75% dari sebuah tembang, Saron adalah instrumen yang dijadikan penuntun untuk instrumen lain. Maka tidak heran dalam satu rangkaian gamelan biasanya punya 4
saron.
Suatu hari, Kata Pak Parno, cepat lambat ketukan gamelan penuntun ditentukan oleh komando
tabuhan dari Kendhang. Saya sempat tertarik untuk mencoba menabuh Kendhang, tapi waktu itu, posisi kendhanger lebih popular di kalangan
siswa laki-laki. Jadi niat untuk memilih menabuh Kendhang saya urungkan sejak
hari ketiga kelas karawitan.
Tibalah hari dimana saya terlambat masuk kelas. Masing-masing siswa sudah duduk manis di belakang instrumen pilihannya. Satu kursi kosong tersisa di belakang Bonang Penerus. Cara memainkan Bonang
juga ditabuh, sama seperti Saron. Namun, tabuhannya tidak menggunakan teknik
pathet. Bonang memiliki dua alat tabuh yang masing-masing dipegang oleh tangan
kanan dan tangan kiri. Susunan logam tabuhnya berjumlah 12 dengan susunan 6 di
bawah 6 di atas. Semua terasa baik-baik saya sebelum saya tahu kalau 6 atas
dan 6 bawah logamnya disusun terbalik. 6 atas adalah do re mi fa sol la si, 6 bawah adalah do si la sol fa mi re. Satu yang masih menjadi misteri, bagaimana bisa 6 buah logam ini menghasilkan 7 nada notasi solmisasi. Bangkai.
Misteri belum berakhir. Ternyata ketukan Bonang tidak sama dengan Saron. Bonang
diketuk dengan tempo ½ lebih cepat dari Saron. Percobaan pertama, dua kali
penghapus melayang ke arah saya. Ambyar pokoknya. For your information, kakaknya Bonang Penerus, Si Bonang Barung tingkat kesulitannya nggak jauh beda sama adiknya. Berkat Bonang, akhirnya saya merasakan mimpi buruk yang selama ini teman-teman saya rasakan.
Semenjak tragedi penghapus terbang, pertemuan demi pertemuan saya lewati dengan menabuh Saron Penerus. Sampai suatu kali saya memberanikan diri menjadi seorang kendhanger karena kendhanger yang biasanya nggak ada. Saya lupa judul tembang yang waktu itu sering
kami gunakan dalam kelas karawitan. Tapi sampai sekarang saya masih ingat bunyi ketukan Kendhang yang waktu itu saya mainkan.
Tak Tak Tung Dha
Tong Tung Tong Tung
Tung Dha Tung Tung
Tung Dha Tung Tung
Tong Tung Tong Tung
Tak Dha Dha
Tak Dha Dha
Kendhang yang kelas kami pakai adalah Kendhang Kalih. Dalam Bahasa Indonesia kalih berarti dua. Kendhang ini terdiri dari Kendhang Ageng (besar) dan Kendhang Ketipung yang ukurannya lebih kecil. Kendhang Kalih menghasikan empat jenis bebunyian seperti yang saya tulis di atas. Tong dan Dha keluar dari tabuhan Kendhang Ageng. Tak dan Tung keluar dari tabuhan Kendhang Ketipung.
Pak Parno, guru paling killer tapi keren yang mengajari saya banyak hal itu, berhasil
saya taklukkan. Beliau mengapresiasi keberanian saya bermain Kendhang dengan
memberikan nilai sangat bagus di rapor. Pertama, tentu karena permainan saya
bagus. Kedua, karena dari sekian puluh siswi cuma saya yang bisa main Kendhang. Hahahaha saya memang jumawa. *ditabok massal
Begitulah cerita mengesankan saya dan alat musik
yang saya pelajari secara formal. Dari sini saya tersadar kembali bahwa mimpi saya membuat band sekeren HAIM adalah fana.
Sukoharjo
16 September 2015