Selasa, 30 Juli 2013

Tentang Kehidupan Gue Lagi

Hai, seperti biasa gue akan posting beberapa cerita yang kebanyakan adalah curhat pribadi gue yang sebenernya sih malu banget kalau harus diumbar tapi yaudahlah daripada gue mati kejang memendam pikiran gue. Mari menulis.

Jujur akhir-akhir ini, well i mean nggak cuma akhir-akhir ini, gue selalu memikirkan banyak hal. Tentang gimana caranya gue bisa kuat dipisahkan oleh jarak dan waktu sama guru besar gue, Bung Ray, yang kehadirannya sangat gue butuhkan buat menyelesaikan apa yang harus gue selesaikan. Dia lagi mudik selama tiga bulan tapi masih tentative pakai tanda bintang (*) alias bisa berubah sewaktu-waktu sesuai term and condition. In case, lo masih tenggelam dalam beribu pertanyaan yang belum terjawab. Damn.

Ibarat kata gue adalah siswa pindahan dari Jawa yang mau nggak mau udah langsung ditodong kertas ujian bahasa Batak padahal baru masuk hari pertama dan lo belum sepenuhnya sukses membalancekan otak dan task yang udah menunggu buat dijamah. Apa yang akan lo lakukan? Nangis dipojokan? Pasti. Kalau lo adalah siswa baik-baik yang tidak mengenal kata nyontek.

Anyway, gue 21 tahun dan terlalu galau. All i want to do sih menyelesaikan secepatnya, awalnya PD banget karena gue pikir nggak sesulit ini tapi makin kesini baru deh berasa kalau gue keteteran. Nggak sepenuhnya karena long distance juga, plus karena ini kali pertama gue mengurus hal yang scale targetnya buesar banget. Man, seperti ketiban Pretty Asmara. Berat.

As the time goes by, gue ternyata bisa. Layaknya Summer sama Tom yang ujung-ujungnya makan ati, inti dari segala inti adalah komunikasi. Tom nggak akan terlalu berharap seandainya dia bisa mengenali cara berkomunikasi a la Summer. But in the other hand, Summer juga terlalu menggairahkan buat nggak diseriusin. Balik lagi. Ya, tidak seharusnya gue menyepelekan hal itu dan merasa bisa melakukan apapun sendiri. Belakangan gue jadi kepikiran buat pindah zodiak tapi lupain aja. 

Gue terlalu malas buat banyak bicara karena tempat ini terlalu baru buat gue. Dari segi apapun dan dengan siapapun. Gue sadar gue sedang berada dalam lingkungan orang-orang keren yang secuilnyapun gue belum bisa imbangin. Gue adalah seonggok nol besar. That's why i pretend for listen and learn which is made me look like a fool. Terserah. Terlalu banyak orang keren yang nggak punya pendengar karena semua orang terlalu keren buat sekedar jadi pendengar.

Berteman dengan banyak orang, itu yang sedang gue lakukan. Gue seneng banget menjadi orang asing dan merasa asing karena dengan begitu gue jadi nggak malu untuk menanyakan hal yang bahkan cuma bersifat remeh-temeh sama semua orang yang gue temui. Ini poin penting yang jadi solusi masalah gue dengan beribu-ribu kubik air dan tanah yang memisahkan gue sama guru besar gue. Gue harus bahagia untuk ini.

Tapi ya, nggak semua orang mau berteman sama gue. Kadang eh lumayan sering gue mengalami penolakan-penolakan yang secara kasat mata itu sebenernya ketauan menyebalkan tapi gue tetep merasa sebodo amat lah ya. Hak semua orang juga sih buat memilih siapa aja yang mereka kehendaki buat jadi teman mereka, gue sadar, tapi tetep aja nyebelin. Di sini, walaupun terkesan cuek dan kekinian, orang gampang melakukan labeling sama satu orang lainnya. Bisa aja lo sebenernya punya niat salaman doang tapi malah dicipika-cipiki. Simplenya gitu. Yang bisa gue lakukan cuma ekstra hati-hati dalam membranding diri gue. Sedikit naif tapi bener. Karena saking cueknya itu mungkin mereka udah terlalu malas buat 'membaca' orang. Kebiasaan.

Ngomong-omong pertemanan, Jakarta itu sempit banget. Apalagi di cyrcle filmmakernya. Lo kenal si A, si A kenal si B eh ternyata temennya si C dan muter lagi dia gebetan si A. Gitu terus sampai Z. Poin plus, artinya lo punya satu bahan ngobrol baru selain ngobrolin film kalau secara nggak sengaja lo udah terjebak terlalu dalam di obrolan garing yang udah mulai nggak lo mengerti. "Eh si A kemarin beli rumah baru loh tapi nggak ada gentengnya, wih hipster banget dia ya?" Selamat mencoba ya, itu cuma sebagian contoh. Lo bisa juga menanyakan kabar mantannya kalau lo udah siap buat dicap kepo dan ditabok bolak-balik. Salam super!




Jumat, 26 Juli 2013

Sedang mengalami momen di mana kaki nggak kuat nopang tubuh dan kepala rasanya udah kena lem gravitasi.

Senin, 15 Juli 2013

Ada Apa Dengan Film Indonesia

Bikin film itu susah. No shit. Tapi yang mungkin lo semua gak tau adalah bahwa bikin film di Indonesia jauh lebih susah dari yang lo bayangkan. Indonesia bukan Hollywood yang punya banyak duit. Temen gue pernah bilang ke gue bahwa Indonesia gak bakalan bisa bikin film kayakTransformers. Gue bilang sama dia, apa aja bisa kalo lo punya 3 triliun.
 
Film kita gak ada yang bujetnya sampe 3 triliun. Paling banter kalo dikurs-in ke dollar cuman 4 jutaan dollar. Makanya, bikin film local semuanya harus dilakukan dengan penuh cinta. Berlebihan? Dengerin gue dulu baru lo bakalan ngerti kenapa faktor “cinta” itu penting dalam pembuatan film di sini.
 
Stage 1
 
Syuting film disini gak ada glamor-glamornya. Jangan bayangin kayak film Hollywood. Lo bisa tidur 8 jam sehari selama produksi aja kayaknya udah harus sujud syukur. Jangan harapkan ada AC. Para pemain mungkin bisa kena AC, tapi orang-orang kayak asisten kamera, asisten sutradara bahkan line producer (komandan perang selama produksi) terpaksa harus berpanas-panasan selama… yah, selama produksi berjalan.
 
Di Hollywood mereka punya standar jam kerja. Kayak orang ngantor. Mereka kerja selama kira-kira 8-10 jam sehari. Lebih dari itu diitung lembur. Jadi kalo lo liat production days film kayak Pirates of Caribbean bisa sampe 200 hari itu karena jam kerja mereka emang terbatas. Di sini kita gak punya kemewahan itu. Jadi, kapankah syuting berakhir? Well, kadang kala syuting bisa berjalan sampai dengan 24 jam sehari. Dan ketika lo udah happy syuting mau kelar, lo harus inget bahwa dalam beberapa jam lagi lo harus udah bangun dan syuting lagi. Makanya faktor “cinta” penting banget disini. Kalo lo gak secinta itu bikin film Indonesia, mending jadi dokter gigi aja. Gak bakalan semrawut itu idup lo.
 
 
Stage 2
 
Setelah masa produksi berakhir barulah kita masuk ke post-production. Ini adalah masa dimana film diutak-atik jadi bagus. Di Hollywood mereka punya satu tempat, Indonesia nggak. Kalo lo mau film lo jadinya bagus (dan lo punya kelebihan uang), lo harus ke Thailand untuk mixing sound. Atau ke Australia untuk grading warna. Semua ini membutuhkan uang yang gak dikit.
 
Mereka ngutak ngatik filmnya sampe yang bikin puas (dan ehm, kadang tergantung faktor duitnya masih ada apa nggak juga sih). Sampe akhirnya produser dan sutradara bilang bahwa filmnya siap edar. Berjalanlah mereka ke sebuah tempat bernama Lembaga Sensor Film (LSF) dan berharap bahwa film mereka gak diperkosa sama LSF. 
 
Mini Boss 
 
Indonesia gak kayak Amerika yang punya Motion Pictures Association of America (MPAA) yang tugasnya adalah mengklasifikasi jenis film. Merekalah yang menentukan apakah Monster University cocok untuk ditonton anak-anak atau khusus dewasa. Sistem ini menjamin film lo gak bakal disunat, tapi bakalan disesuain jenis penontonnya sesuai materi film.
 
Disini, sebagai produser film, lo harus banyak berdoa. Kadang, para penyensor film tidak memiliki cara kerja otak yang logis sama kayak kita. Kadang, mereka bisa terganggu oleh hal-hal yang sebenernya gak ada jorok-joroknya sama sekali. Dan ketika lo mau protes, mereka akan ngasih alasan-alasan kocak kayak “film lo kurang mencerminkan budaya Indonesia” atau semacamnya. Dan karena emang hanya mereka yang menentukan ini semua, lo gak ada pilihan lain kecuali nurut. Atau mungkin ngambek dan pindah ke negara.
 
Final Boss
 
Abis lo dapet keterangan lulus sensor, yang bikin film masih belum bisa nafas lega dulu. Mereka harus menunggu waktu lagi agar filmnya tayang di bioskop. Indonesia gak punya sistem distributor yang ngatur jalannya traffic film di bioskop. Disini lo cuman tinggal ke bioskopnya (dalam kasus ini adalah Cineplex 21 dan Blitzmegaplex) dan minta jadwal tayang. 
 
Beberapa produser yang handal, bisa dengan mudah minta jadwal tayang yang menguntungkan di minggu-minggu liburan misalnya. Produser yang kurang handal (atau baru), terpaksa harus gigit jari dengan pemilihan jadwal tayang mereka kurang begitu menguntungkan. Kadang mereka terpaksa harus nangis di pojokan begitu tau bahwa film mereka dapat jatah tayang 6-7 bulan kemudian dan harus banget barengan sama film James Bond yang baru. 
 
Kemudian setelah jadwal tayang sudah fix, barulah mereka mulai berdoa tiap hari agar film mereka bisa laku. Jeleknya bioskop di Indonesia (atau minusnya sistem distribusi disini) adalah kenyataan bahwa semua kerja keras lo selama berbulan-bulan bikin film, akan dinilai dalam 3 hari pertama penayangan. Dalam 3 hari itu Cineplex 21 itu akan menilai film lo, apakah film lo cukup layak diperpanjang atau nggak. Kalo ya, lo harus berdoa lagi supaya film lo masih cukup kinclong untuk menarik perhatian penonton. Kalo nggak, ya lo harus tabah bahwa semua perjuangan lo cuman kelar sampe situ aja. Itulah kenapa lo sering berada dalam posisi ngomongin film Indonesia yang baru dan temen lo nyeletuk, “Hah? Yang mana ya? Kok gue gak tau?” atau “Gak pernah liat gue di bioskop”. Itu karena emang sistem pemutaran film di negara kita sangatlah kejam.
 
Ending
 
Setelah tau ini semua, lo bisa nanya, “Kenapa sih, Can, lo semangat banget nyeritain ini semua?” Simple aja: Gue pengen lo tau kerja keras para pembuat film di Indonesia. Karena bikin film Indonesia itu gak gampang dan kurang dihargai. Dan dengan tulisan ini gue berharap agar lo selalu nonton film Indonesia di bioskop karena cuman lo-lah satu-satunya harapan kita di akhir hari. Dan supaya tiap kali ada temen lo yang mau download film Indonesia (atau nonton di youtube, worse) lo bisa tabok mereka sampe berdarah.
 
Sourcehttp://www.provoke-online.com/index.php/film/343-ada-apa-dengan-film-indonesia

Minggu, 14 Juli 2013

Ada Kalanya Kalian Akan Merasa Sangat Kesepian

Saya sedang merasa sangat mellowdramatic. Ada beberapa judul film yang kalau saya tonton maka akan membuat saya sangat merasa bahwa ceritanya sangat gue banget kalau anak Jakarta bilang sih. Ntar deh saya bakal lanjutin di postingan berikutnya. Insyaallah. Percaya gak percaya sekarang saya sedag berkutat dengan ratusan manusia eksis se Jakarta Raya yang tumplek blek di Tebet.

Corindo Coffe. Ya, saya disini. Mau nggak mau harus kesini selain karena namanya ada unsur kemiripan dengan nama saya juga karena emang tempatnya kecil jadi saya pikir kopinya nggak semahal di Comic Cafe. Jangan tanya sama siapa, sendirian lah pastinya. Jangan tanya juga saya ngapain, cari wifi gratis lah. Ngana pikir?

Well, ini pertama kalinya saya beredar  di daerah sekitar kostan sekedar buat ngopi-ngopi santai yang sebenernya juga nggak sesantai yang kalian bayangin. Saya adalah tipikal orang yang tidak begitu menyukai keramaian sih sebenarnya, kalau bisa milih, saya lebih seneng ngopi-ngopi santai sambil cari gratisan wifi di pantai. Sound impposible to find here, Kor. Plis deh.

Kerjaan. Apalagi alasan saya bertahan diem disini kalau bukan karena kerjaan. Kerjaan yang menuntut saya untuk selalu tersambung berjejaring sama atasan-atasan yang walaupun weekend tetep minta dikirimin ini-itu. Tapi bukan, saya bukan reseller online shop, sist. 

Gembel banget saya ya, masih musim apa yah 2013 begini tenteng-tenteng laptop cari wifi? Bodo amat. Satu hal yang membuat saya tetap bersemangat di hiruk pikuk minggu malam disini, selain ice coffee tarik dua puluh ribuan yang sayang banget kalau cepet-cepet dihabisin, juga karena suasana baru yang saya dapet. Jauh berbeda dengan keadaan kostan yang hening dan suram. Hahaha. Mulai deh saya labil, padahal di awal udah bilang kalau nggak suka keramaian. 

Tapi bener, setiap orang termasuk saya pasti memiliki titik jenuh yang suatu hari bakal meledak. Apalagi saya sedang pingin banget dan sangat berusaha keras buat concern nulis yang kadang memang cuma bisa diselesaikan dengan didukung sama hal-hal mistis buat cari inspirasi. Gaya banget kan? Mistis apalagi, suasana. Suasana. Nulis apapun yang belakangan ini lebih sering dibilang nulis diary di blog. Iya, karena saya kesepian and all i need to do is just talking sebenernya, tapi karena disini saya belum menemukan sosok-sosok yang bisa saya ajak ngobrol happy dengan segala keabsurdan saya, yaudah deh, cukup lah saya ngobrol sama sampeyan-sampeyan lewat postingan-postingan creepy saya. Di cukup-cukupin deng sebenernya. Sabar ya.

Poinnya apa sih saya nulis ini? Nggak tau. Hahaha. Cuma karena momen aja. Bisa jadi karena saya merasa keren duduk di pojokan kafe sendirian sambil ngetik-ngetik nggak jelas biar keliatan serius dan berharap ada cowok ganteng yang diam-diam lagi ngeliatin saya dan berkata dalam hatinya bahwa cewek geek macem saya adalah wanita indamannya yang selama ini dia cari. 

Kesepian, lagi-lagi saya merasa kesepian. Nggak disini aja sih, dimanapun. Menyedihkan.

Rabu, 10 Juli 2013

Normal, Saya Kembali Normal

Hai, kali ini saya akan mencoba menulis dengan normal.

Mengenai kehidupan saya akhir-akhir ini, ada baiknya jika sedikit saya singgung untuk beberapa hal. Buku, aku suka buku, hal paling menakjubkan dalam hidup saya, selain Papua dan kasih sayang luar biasa dari seseorang adalah buku. Bicara tentang buku, beberapa hari yang lalu saya niat banget lihat lapak-lapak buku bekas di daerah Kwitang. Informasi mengenai tempat ini saya dapatkan dari film Ada Apa Dengan Cinta. Selain itu teman-teman yang nggak tau juga mereka bener-bener tau atau enggak pun merekomendasikan tempat ini. 

Dengan terik matahari yang menyengat waktu itu (ok lebay) tapi ya emang panas sih, jadilah saya berangkat ke suatu tempat yang bernama Kwitang tersebut. Naik angkot dua kali, sekali Tebet-Kampung Melayu kena tarif normal dua ribu maratus. Setelahnya, naik nomor 01 ke arah Senen yang dengan polosnya saya nanya nanya ke abang sopirnya bahwa saya nggak tau Kwitang daerah mana, tapi benar dia anter saya dengan selamat sampai tujuan tanpa kurang suatu apapun, yang jadi masalah, bayar angkotnya jadi nggak normal. Goceng you know. Buat anak kost lepasan macem saya, naik angkot bayar goceng adalah hal paling menyebalkan selain menstruasi dadakan sedangkan lo berada di tempat yang jauh juala pembalut. Shit, i wrote it down now. Sorry, my bad kebawa emosi jadi lepas filter.

Oke, sampai di Kwitang dengan mood jelek banget, dan ternyata saya masih harus jalan kaki juga hasil nanya-nanya abang mie ayam tentangb keberadaaan pasar loaka tersebut. Hop. Hati riang gembira karena katanya jaraknya nggak jauh dari tempat saya berpijak ini. Bener! Saya nemu toko buku, tapi cuma satu, nggak seperti dalam film Ada Apa Dengan Cinta yang kutonton. Jalan mondar-mandir tetep yang ditemuin cuma bapak-bapak geje nongsky tengah hari bolong. F.

Duduklah saya dengan manis di burjo yang juga nggak kalah nambah-nambahin bad mood, yakali di burjo nggak ada es batu. Oh ya, burjo adalah sebuatan buat warkop mamang-mamang sunda yang disitu juga dijual internet as known as indomie telor kor? net. OMG internet (ngiler). Fokus.

Menjadi-jadilah kebetean saya, untung nggak makanin taneman. Ngubek-ubek google samapai nelfonin temen sana-sini buat memastikan keberadaan Kwitang apakah masih eksis atau enggak. Dan ternyata enggak. Udah direlokasi ke daerah Poncol dan Thamrin. Deg, langsung acak-acak kerudung. Nggak deng. Langsung lari-lari telanjang sambil nangis makanin taneman se pot-potnya. Ok ini jayus. Banget.

Buntu deh. Yaudah sih, karena saya nggak tau where the hell Poncol and Thamrin are, akhirnya saya memutuskan buat ke TIM. Telor isi makarel. Bukaaaan! Taman Ismail Marzuki. Berjalanlah lagi saya menyusuri jalanan Kwi to the Tang sampai hampir Matraman (kejauhan ya?) untuk mencari seonggok tukang ojeks. Wuuuuz, here i am. TIM.

Celingak-celinguk seperti anak angsa yang hilang dari sarang (kurang-kurangin Kooor). Ceban melayang buat mamang ojek yang dengan sigap ngajak saya sampai TIm dalam waktu yang sangat singkat. Iyalah, ternyata deket banget. Dan bodohnya, saya kasih ceban. Waktu itu saya sempat menyadari kalau mamang ojek yang budiman itu terlihat memandang saya, antara mau ngasih kembalian atau mau minta lebih. Sepertinya opsi pertama lebih etis. Tapi yasudahlah, sedekah. Nangis juga deh. 

Menuju Kineforum. Bayangan saya ketika menginjakkan kaki di depan TIM, bakal ada plang segede gaban buat nunjukin arah jalan ke Kineforum. Tapi ternyata enggak, beneran enggak. Yoweslah, jalan muter, nanya satpam, jalan lagi sampai akhirnya aku menemukan secercah cahaya kehidupan yang membawaku sampai ke tempat yang saya cari. Yeeeeay, finally. Kineforum.

Nggak seramai yang saya kira, sepi abis cyin. Yah karena memang bukan tempat nongkrong sih. Tapi saya suka banget. Sepi, tenang, rimbun, tersembunyi dan artsy. Lumayan lah daripada kantor Kine saya di Solo. Jauh meeeen.

Order tiket buat nonton Dont Talk Love-nya Mouly Surya. Ya emang sepi. Pertama karena saya pikir memang udah banyak pada nonton terus juga kan seatsnya terbatas. Dan bayar. Gak semua orang suka bayar. Kecuali saya. Huehehe

Nunggu. Nunggu. Nunggu. Heran, 80% hidup saya kayaknya abis buat nungguin semua hal. But that just fine, i'll fight for that. Kencengin iket kepala dulu kali ya biar dramatis. Hop!

Sejam saya nunggu sambil baca buku Sayyid Qutb pemberian dari teman. Membacalah saya sampai nggak sadar itu tempat yang awalnya sepi mendadak ramai sama sebagian besar pasangan muda-mudi masa kini. Buru-buru deh saya nengok kalender di HP. Damn, salah timing, ini malam minggu dan saya? Dan saya sendirian. Well, BIASA. Kori adalah wanita tegar setegar batu karang di lauatan. Cukup.

Amaze sama film yang saya tonton. Pulang deh. Eh makan dulu deng karena laper, hardcore abis, sendirian. Perlu digaris bawahi. Abis makan, nyegat P20. Sebenernya pingin nonton Monster University di XXI TIM. Tapi apalah daya balada kantong ketemu tanggal tua, plus ketemu malem minggu, batal deh. Sampai XXI sih, tapi cuman buat numpang kencing.

Ini cerita normal saya. Udah ah segitu aja, mau buka puasa. Delivery ordernya udah dateng MAKAAAAAN. Btw, kalian tahu apa yang sedang saya makan dan apa yang sedang saya tonton? Pokoknya makan. Sambil nonton walking dead. Untung saya tipikal wanita yang...whatever you watch no matter for what you eat. Halah.

Bye.

Kalah Atau Menang Bukan Hal Penting

Untuk siapa kami menggelar-gelar kemuliaan demi kemuliaan yang sebenarnya cuma bentuk gimmick gempita sesaat yang hanya muncul di awal paragraf?

Bukankah menyebalkan mengetahui darimana asal jalan sebuah keriaan yang sebenarnya hanya bayang-bayang tanpa tuan? Dengan apa kita menyatakan segala macam bentuk kejemu-jemuan sebenarnya yang mungkin tak satupun kawanan koloni singa lapar ini tahu? Tunggu, apa aku terlalu sering menuliskan kata semu dalam tulisan-tulisanku?

Kutulis semua kesemuan yang ada padaku dalam layar tanpa garis yang entah telah menjadi tambatanku akhir-akhir ini dan masih belum dapat kuputuskan untuk berapa lama lagi aku akan seperti ini. Terlalu lelah, semua orang terlalu lelah bermain-main dengan pikiran mereka sendiri. Pun juga denganku. Ini yang aku bisa. Menyusun ulang huruf a sampai z untuk kemudian kupajang di laman diaryku yang kemudian kau bisa baca untuk mencari tahu makhluk apakah sebenarnya aku ini. Ya kan?

Sampai kapan aku akan terus berada dalam kungkung segala hal yang kupikir memang sangat tidak jelas begini? Bagaimana aku dapat keluar dan menikmati udara kebebasan yang di langit-langitnya dapat kugantungi dengan jari-jariku hingga ketiakku dapat merasakan semilir angin yang katanya bisa membuat wangi deodorant baruku tercium sampai garis tak terbatas, sejauh pandanganku atas segala apa yang membuatku merasa benar-benar lepas? Paradoks.

Aku terjebak dalam tubuh dewasa. Aku berada dalam dimensi yang salah. Mungkin.

Kamis, 04 Juli 2013

Kelas Membaca

Aku, kamu snhajbdhej bdajsgfk asjfancjan fjgncnsfhkr hLSdn. jakshjhjn khrk ashfasjn caerck ajncnc djfhzx kasjbkasj asdhf uiasjlasjhr yhaksdhg jskhaowrh sdhad hasjnxnsurnzs dhNSdhKJSDh jddfjdkhfkdhychgxkujlk jj hidjfhf. sifhisyfj hishfhjdi idhjfiu yfjdju. idfhihihi udoifh asufhf djfadj yrzcho aifgudfh jfhajyh. usfhu ufaeybc sd  ud fiusad cudjfyi uefniuf udfdfuyrfz ufhaidsfh cnaidsf.

idasnfisdfh fuufjhosd ufhdofhzosf aku kamu fjdf  fghfg kudfhz dfgzxf. udfiyrfyzfhu faff fudfudfyaoifoF IUSDHifh jfghofthsdii.sfh dkjfy urafsjdhsdfur difhsohdfhtr. udkfujsdfijsidf fisdfhtu budfhsodifh uifhosidf. udfhuyhsd forhsudfh nbjdfhsdb. hifhosdh sdhaloko jdfhlskdif idjoihyadh udfh. udyhigythu udfhiadu odshoasdfhgudf. hihiohh idfyoafhhg. f isodfhyr uiuafyh dAs asifyodgoyf sidhidufisd iudhiusdf iudfiudfhf iusuysd idgisufisdu fsiduft kdhfjsdhryzdfyisd fisdyrsudo adfvnbmfdf. ufoierhd uasfrh udsufyriafu idfyiae ieharuh asdhf asufhe hoau asifhgao sifhehfoa foiafy ehfiasf idufhoa rfaf oduho afhudf fuhdfhdf  dfuhr duf sdf id. ufguryas ufgtuf dufdf udfhufhh uasfyasuj dufan usfyes. hrhs usfysodug iysdtsb rha sfyd ujsyrhsa sfysfhrysj sdjrys hfdfrujh dhtdjhsdj ksdhfjd ksdjrhsu.

jadhjgfka sjfhsjsd lksjda ladje hadjfh kaejhd jdheha djaehd jedhdna kaja jdhakejd jadkhf kdff. jdheadnj, dahakbad gdbjdbhe jdhfnvbcn cvndfbdjdbvn djfhabfhfba dhfbnhsdhfhn mfhkjdvh jdfhajdfhj. Jahsjgdhdf ffhdjdrhdj drdjskio kakeidk keirkso disrkiskopl kaeiakdieajd opoleoejd orldoljdl rklakdiejs ksiksdik lakeiskjla dkejlaiekha kdjej.

Aku, kamu. iafhf iudsfhudrhasfd dkdsjgfjfhdifj kita jdhfkjdfnrh sdfnsdfnsk. dfihafhr udfhjdryhzfjafg sadiufhuguisd sdiughusdhu idhiohuhdfjhsdgfj jdhsdg. uhusighsdghdsight. jsdhsdy hfsuidgnh ishdfiu syhhug hysdjgh suhsdgjf. 

Mengerti?

Rabu, 03 Juli 2013

Bayi Unta, Riding Horse, dan Seorang Pemabuk

Jadi apa yang sedang kamu lakukan sekarang? Memikirkanku? Aku tahu jelas tidak akan.

Terus saja aku menganalisa keberadaanmu, sedang apa kamu, sedang melakukan apa kamu. Ada banyak yang harus kupikirkan selain kamu, tapi aku bisa apa jika memang aku tiada berkehendak untuk melepaskan sudut penglihatanku darimu. Penglihatan mata batinku atas segala apa yang menyangkut tentang kamu.


Tidakkah ini cukup terdengar menyedihkan untuk kamu baca? Selamat, kamu telah menjamah ruang semuku dengan sangat mengagumkan. Tapi belum, ini belum masuk bagian yang paling menyedihkan.

Tentang bagaimana seekor bayi unta dibiarkan berjalan sendiri mendekat pada oase sedang sang kakak tahu bahwa itu hanya sebuah ilusi tapi tiada pernah ia melarang atau memperingatkan bayi unta tersebut untuk berhenti. Justru sedari awal dia memupuk perasaan si unta kecil malang untuk terus berjalan mendekat. Jahat? Tidak, dia membiarkannya belajar. Dia sadar betul telah beradik lebih pintar darinya.

Riding horse, riding horse, riding in the subway groove..
Moonlight soar, riding horse, poor you circling on a floating cube..

Apa yang harus kulakukan jika kamu mendapati teman perempuanmu sama-sama mabuk tapi tetap tak dikatakan bahwa ia benar-benar turut mabuk sampai pada suatu hari kau merasa kecewa karena terus saja ia berkata tidak mabuk tapi padahal sebenarnya mabuk? 

Kenapa dia membiarkanku merasa mabuk sendirian? Apa salahnya jika kami saling mengakui bahwa kami sama-sama mabuk? Apa dia malu? Apa dia sengaja mengajakku untuk mabuk lebih dalam untuk kemudian melihatku muak sampai muntah? Lucu. Semua berjalan sangat lucu. Tak seorangpun kuceritai bahwa aku mabuk kecuali dia yang kuanggap tak pernah mabuk. Keterlaluan.

Siapa yang bodoh? Aku? Damn.

Aku merasa tak ingin berhenti megira-ira. Merasa ingin terus tertawa setelahnya karena mengetahui kenyataan bahwa aku sungguhpun tak lebih mabuk dari temanku. Tak lebih tenggelam daripadanya. Beruntung aku hanya sempat minum satu gelas. Oh mungkin karena terlalu mabuknya jadi ia tak sadar jika sedang mabuk juga? Dasar pemabuk.

Senin, 01 Juli 2013

Delapan Paragraf Untuk Yang Tak Satupun Benar Aku Tahu

This like a particular issue to write before i move passing a gloomy day.

Bukan pengantar yang sesuai untuk menunjukkan isi cerita yang akan aku tulis. Sebenarnya, jika ingin jujur, aku tidak tahu benar arti particular di sini. Ya, kalian boleh tertawa.

Paragraf kedua. Kalian tahu apa yang sedang kucemaskan? Tidak, bukan lagi menyoal masa depan atau hal rengek-rengek mengenai masalah warna baju dan celana. Penantian. Membosankan memang, aku sedang menunggu dan menduga-duga penuh harap atas beberapa hal manis yang kualami belakangan ini.

Paragraf ketiga. Tentang apa dan siapa, tidak akan kujelaskan. Anggap saja ini hari natal yang setiap anak rela menggantungkan kaus kaki hangatnya di depan pintu dan perapian. Untuk siapa? Santa. Siapa Santa? Apakah dia akan benar-benar datang? Tidak.

Paragraf keempat. Setelah kupikir-pikir, benar aku adalah analogi dari gadis kecil penunggu perapian untuk sebuah kado dari Santa. Pikiranku hanya tertuju pada satu pusat, objek misterius, Santa.

Paragraf  kelima. Dia mengetahui dengan pasti bahwa hal yang paling kusenangi adalah selalu dalam pelukannya. Membenamkan diri dalam sela-sela antara kedua bahunya yang lebar dan besar. Bahu paling hangat sekaligus paling nyaman untuk kemudian kuletakkan daguku dan menahan wajahku dengan mata yang mengatup. Aku seperti menggantung di dadanya.

Paragraf keenam. Bagaimana mungkin Santa yang entah keberadaannya nyata atau tidak mampu membuatnya rela berdiam di depan perapian menunggui kantung kaos kalinya penuh?

Paragraf ketujuh. Aku pernah sekali mencoba mendaratkan bibirku di keningnya ketika dia tidur. Dia tidak tahu, memang karena aku sedikit malu-malu. Wajah tidur. Kupandangi sampai bosan. Bisa, dia bisa membuatku melakukan hal seperti itu dengan dekapan yang hanya berlangsung dua detik. Kau tau berapa lama aku memandanginya? Dua jam. Kau tau apa yang kupikirkan? Teh. Mungkin akan lebih baik jika ketika dia bangun aku membuat secangkir teh.

Paragraf kedelapan. Ada satu masa yang seharusnya dapat dijadikan titik perenungan untuk manusia-manusia sekarang. Demi perspektif tak terjamah dan “Apa kabar, Maria?”